Hukum Kurban, Hutang, dan Puasa

Assalaamu’alaikum,

Ustadz, saya ingin menanyakan beberapa masalah fikih. Semoga Ustadz bisa meluangkan waktu untuk menjawabnya. Pertama, bagaimana hukumnya berkorban yang diniatkan agar pahala berkorbannya sampai ke orang yang sudah meninggal? Kedua, bagaimana jika seseorang yang meninggal memiliki hutang tapi hutangnya tidak diketahui keluarganya? Ketiga, seseorang yang bepergian jauh tapi meniatkan puasa. Ketika sahur ia di Jakarta, dan kebetulan menjelang buka dia ada di Papua. Apakah buka puasanya mengikuti waktu Jakarta atau waktu Papua? Terima kasih.

Sulung

Bogor

‘alaikumsalam,

Dik Sulung, shadaqah untuk orang yang sudah meninggal, hukumnya boleh. Misalnya, kita bershadaqah uang, atau makanan, atau pakaian, dengan niat agar pahala shadaqahnya sampai kepada ayah kita yang telah meninggal. Demikian pula berkorban untuk orang yang sudah meninggal, juga boleh. Didasarkan pada nash hadits dan qiyas kepada shadaqah untuk orang yang sudah meninggal.

Nash hadits, ada dalam Kitab Subulus Salam, Bab al-‘Udhiyah, bahwa ketika Nabi saw. akan menyembelih, beliau berdoa, “Ya Allah, ini kurban untukku, keluargaku, dan umat muhammad yang belum berkurban.” Imam ash-Shan’ani menjadikan hadits ini untuk bolehnya seorang yang berkurban untuk orang lain, termasuk yang sudah meninggal. Mengenai dasar qiyas, disebutkan dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin.

Dik Sulung, jika ada orang yang meninggal dan kebetulan ia berhutang, sementara keluarganya tidak mengetahuinya, maka perlu dilihat demikian; bila dia dulu punya niat melunasi utang, maka yang akan melunasinya adalah Allah Swt. Dasarnya, hadits dalam Kitab Subulus Salam. Diriwayatkan Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa berhutang dan berniat untuk melunasinya, maka Allah akan melunasinya. Barangsiapa berhutang dan berniat untuk menghabiskannya, maka Allah akan merusaknya.”

Dalam kitab Subulus Salam, “Yang dimaksud Allah melunasinya, bisa di dunia dan bisa di akhirat. Di dunia dengan kelapangan rizki dari Allah sehingga dia akan bisa melunasinya. Sementara di akhirat, Allah akan membuat ridha orang yang menghutangi. Adapun bila dulu tidak punya niat membayar utang, maka menurut hadits, Allah akan merusaknya” (teks : atlafahullah). Maksudnya “Allah akan mengazabnya”, namun ini masih satu kemungkinan.

Kemungkinan lain, tergantung pihak kreditor (pemberi hutangan). Jika dia ridha, tak ada masalah. Jika tidak ridha, maka pahala penghutang akan ditransfer menjadi milik pemberi hutang. Jika belum cukup, maka dosa pemberi hutang akan ditransfer menjadi milik penerima hutang. Dasar nash: hadits tentang muflis/orang yang bangkrut (diambil dari Kitab Syakhshiyah Juz II, Bab al-Muflis).

Dik Sulung, orang yang mulai puasa di Jakarta lalu ke Papua, maka buka puasanya mengikuti waktu setempat, yakni di Papua, bukan Jakarta. Alasannya: karena berbuka itu tergantung dari sebab syar’i, yaitu ghurubusy syamsi (tenggelamnya matahari) dan matahari yang dimaksud adalah matahari yang dilihat oleh yang bersangkutan (di Papua). Bukan yang dilihat oleh orang di Jakarta. Jadi ikutnya waktu di Papua, bukan Jakarta. Jawaban pertanyaan ini tidak memerlukan dalil khusus, karena pembahasannya adalah pembahasan manath yang berkaitan dengan fakta, bukan pembahasan hukum yang perlu dalil syar’i. Wallahu’alam.

===

Rubrik konsultasi fikih ini diasuh oleh Ustadz Muhammad Shiddiq al-Jawi, alumnus Pondok Pesantren al-Azhar Bogor, Peneliti pada SEM (Shariah Economic Management) Institute Jakarta. Buat kamu yang kebetulan lagi punya masalah dalam kajian fikih, boleh deh kirim surat ke Sobat Muda via e-mail atau pos. E-mail: sobatmuda@mail.ru (cantumkan rubrik “fikih” di subjeknya). Ta’ enteni yo!

Satu respons untuk “Hukum Kurban, Hutang, dan Puasa

  1. Assalamualaikum wr.wb
    Ustadz,sy muslimah sejak lahir.tp kehidupan agama sy dulu sgt buruk.skrg sy b’niat m’pbaiki.salah 1nya, puasa sy bnyk bolongnya.dan b’thn2 sy tdk m’byrnya.bagaimana cara sy m’byrnya.terima kasih

Tinggalkan komentar