US$ 103 juta di Rekening Capres

Manajer Public Relations Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), M Natsir mensinyalir adanya laporan masuknya dana asing yang dikirim untuk mendukung capres tertentu.

Laporan itu menyebutkan nilainya mencapai 103 juta dolar atau sekitar Rp 1 triliun, ditransfer dua kali transaksi, masing-masing senilai 50 juta dolar dan 53 dolar AS.

Natsir mengatakan untuk mencari kepastian mengenai kebenaran laporan itu, pihak PPATK akan melakukan dua tindakan, Pertama, melakukan analisa dan pelacakan. Kedua, melaporkannya kepada pihak penyidik bila ternyata hal itu terbukti.

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum menyatakan akan mengklarifikasi tentang dana dana asing yang mengalir ke pundi-pundi pasangan capres-cawapres. Untuk keperluan tersebut KPU berencana mengundang pihak PPATK dan LSM Government Watch (GOWA).

Sobat! terlepas kebenaran berita tersebut, rasa-rasanya kita kudu ati-ati and tidak mudah terbius akan janji-janji mereka, setuju? [diolah dari Republika, 3 September 2004]

“Black Widow” ala Chechnya

Tahukah kamu siapa kelompok Janda Hitam Chechnya? Nama kelompok Janda Hitam Chechnya ngingetin orang pada spesies laba-laba black widow, tapi sebenarnya nggak berhubungan, lho. Inilah kelompok pejuang kemerdekaan Chechnya paling ditakuti di Rusia. Seperti namanya, gerakan perlawanan ini dimotori para janda Chechnya yang suaminya gugur ketika berperang melawan Rusia.

Para janda ini memutuskan meneruskan perjuangan para suaminya dengan menjadi pembawa bom syahid. Enam dari tujuh serangan bom syahid oleh pejuang Chechnya pertengahan tahun lalu dilakukan para wanita ini. Jumlah korban tewas karena bom mereka 165 orang. Cukup fantastis.

“Saya sekarang hanya punya satu mimpi, hanya satu misi-meledakkan diri sendiri di sebuah tempat di Rusia, idealnya Moskow,” kata Kowa, salah seorang anggota Janda Hitam, seperti diceritakan kepada BBC. Tujuannya, “Untuk mengorbankan sebanyak mungkin orang Rusia karena ini satu-satunya cara menghentikan Rusia membunuhi rakyat Chechnya.” Subhanallah, semangat juangnya oke banget! [diolah dari Koran Tempo, 3 September 2004]

Larangan Jilbab Mulai Berlaku

Pintu gerbang Sekolah Jacques Bret di La Courneuve, Prancis, mulai dibuka kembali, Kamis (2/9). Tahun ajaran lalu, sekolah ini memiliki 52 orang siswi berjilbab. Namun pada Kamis itu, tak ada satupun siswi berjilbab yang terlihat.

Pada hari itu, untuk pertama kalinya para siswi berjilbab “terjerat” undang-undang (UU) larangan berjilbab. Aturan tersebut berlaku bagi 12 juta murid sekolah dari 60 ribu SD dan 11 ribu sekolah Menengah di seluruh Prancis.

Orang tua dari murid-murid yang berjilbab itu tak ingin menanggung resiko lebih berat. Akhirnya, penutup kepala itu pun terlepas.

Sekulerisme yang diusung Prancis menjadi dalih kuat Institusi resmi untuk mendukung pelarang tersebut. Semangat sekulerisme ini yang demikian tinggi ini bersumber dari rentetan sejarah yang disimpul dalam Revolusi Prancis pada 1789, ketika itu kaum revolusioner ingin melepaskan Prancis dari dominasi gereja Katolik.

Sebenarnya UU larangan berjilbab tersebut meliputi pelarangan mengenakan simbol keagamaan lainnya seperti penutup kepala khas Yahudi dan simbol salib yang menyolok. Namun tak dipungkiri, UU tersebut memang menohok pada jilbab, hal ini terkait dengan kecurigaan pada fundamentalisme berlatar Islam.

Inilah realita kebobrokan sistem ini, orang yang mo berbuat baik dilarang, sementara yang nggak bener malah didukung, zaman edan…[diolah dari Republika, 3 September 2004]

Pakaian Muslim di Rumah Sakit Portland

PORTLAND — Umat Muslim di Portland, Amerika Serikat boleh bernafas lega. Hak-haknya di ruang publik kini sedikit demi sedikit mendapat pengakuan. Kabar terbaru, rumah sakit terbesar di sana, Maine Medical Center, menyediakan baju khusus buat pasien Muslimah.

Langkah ini dilakukan pihak rumah sakit setelah mengevaluasi kotak saran pengunjung. Umumnya, pasien Muslim mengaku risih mengenakan baju standar yang diberikan pihak rumah sakit. Mereka pun kemudian merancang baju yang sesuai dengan keinginan pasien Muslim.

Menurut Manajer Pelayanan Lintas Budaya Maine Medical Center, Dana Farris Gaya, ini merupakan sebuah tantangan yang datang dari sebuah komunitas masyarakat, yang sebenarnya pada akhirnya memberikan keuntungan bagi semua pasien.

Seorang pasien, Shamso Abdi, menyatakan bahwa Maine Medical Center telah menciptakan pakaian bagi pasien yang sesuai dengan keinginan dan ajaran agamanya. ”Saya merasa bahagia bahwa mereka melakukan perubahan dan mempertimbangkan kepentingan kami,” katanya.

Ia menyatakan, sebelumnya pernah ia membatalkan janji dengan seorang dokter di rumah sakit tersebut, ketika ia harus mengenakan baju rumah sakit yang standar. Artinya ia harus melepaskan hijabnya.

Selain Maine Medical Center di Portland, Michigan Medical Center juga merespons kebutuhan Muslimah itu. Ini untuk memberikan pelayanan bagi orang-orang Arab Amerika di Michigan Tenggara yang jumlahnya mencapai 300 ribu.

Menurut Juru Bicara Michigan Medical Center, Krista Hopson, pihak rumah sakit juga akan mengirimkan sinyal ke kamar-kamar pasien wanita ketika ada pengunjung atau staf pria yang masuk ke dalam kamar perawatannya. [fer/cbsnewyork, Jumat 20 Agustus 2004]

Tinggalkan komentar